Pengertian Ijtihad
Pengertian Ijtihad |
Ijtihad berasal dari kata al- jahada yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Dalam bidang fikih, berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung didalam Al-Qur'an dengan syarat-syarat tertentu.
Adapun menurut para ahli usul fikih, antara lain Imam asy-Syaukani dan Imam az-Zarkasy, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syara’ (hukum Islam) yang bersifat operasional dengan istinbath atau mengambil kesimpulan hukum. Menurut Imam al-Amidi dalam bukunya al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Penyempurnaan dalam Dasar-Dasar Hukum), ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari syara’ yang bersifat dzanni (dugaan) sampai merasa dirinya tidak mampu mencari tambahan kemampuannya itu.
Kata ijtihad (al-ijtihad) berakar dari kata al-Juhd yang berarti at-taqhah (daya, kemampuan,kekuasaan) atau dari kata al-Jahd yang berarti al masayqqah (kesulitan, kesukaran). Dari ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna badal al wus´ wal mahud´ (pengerahan daya kemampuan), atau pengerahan segala daya kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitasyang sukar dan berat. Dari pengertian kebahasaan terlihat dua unsur pokok dalam ijtihad, daya atau kemampuan 2 objek yang sulit dan berat. Daya dan kemampuan disni dapat diklasifikasikan secara umum, yang meliputi daya, fisik-material, mental-spiritual dan intelektual.
Ijtihad sebagai terminologi keilmuan dalam Islam juga tidak terlepas dari unsur-unsur tersebut. Akan tetapi karena kegiatan keilmuan lebih banyak bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian ijtihad lebih banyak mengarah pada pengerahan kemampuan intelektual dalam memecahkan berbagai bentuk kesulitan yang dihadapi, baik yang dihadapi individu maupun umat manusia secara menyeluruh. Dalam rumusan definisi ijtihad yang dikemukakan ibnu Hazm berbunyi “Ijtihad dalam syariat ialah pencurahan kemampuan dalam mendapatkan hukum suatu kasus dimanahukum itu tidak dapat diperoleh”
Menurut al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qathi.Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagailandasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakanshalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itutelah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnahKewajiban shalat dan zakat.
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat.Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yangbersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukumyang belum ada nash-nya dan ijma para ulama.Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadilapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lainbagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah µam, khas, mutlaqmuqayyad, dan lain-lain.Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihadadalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan,mashalah murshalah, dan lainya.
Komentar
Posting Komentar